Sabtu, 20 April 2019

Published April 20, 2019 by with 2 comments

Omed-omedan, Ritual Unik Pengikat Keakraban Masyarakat Sesetan

Hasil gambar untuk artikel tentang tradisi omed-omedan

Dari sekian banyak tradisi perayaan Hari Raya Nyepi, ada sebuah tradisi unik yang hanya dapat ditemui di Banjar Kaja Sesetan, Desa Sesetan, Denpasar. Tradisi tersebut bernama omed-omedan, yaitu ritual saling peluk dan tarik-menarik secara bergantian antara dua kelompok muda-mudi yang rutin diadakan setiap tahun pada hari pertama setelah Nyepi. Menurut salah seorang penglingsir dari Desa Sesetan, I Gusti Ngurah Oka Putra, omed-omedan diperkirakan telah ada sejak abad ke-17 dan terus berlangsung hingga saat ini. Menurut pewaris Puri Oka yang akrab disapa Ngurah Bima ini, “omed-omedan” berasal dari kata “omed” yang berarti menarik.
Sekali waktu di masa lalu, tradisi ini pernah ditiadakan. Tetapi, tiba-tiba di tengah desa muncul dua ekor babi hutan yang saling bertarung. Masyarakat Desa Sesetan menganggap hal tersebut sebagai pertanda buruk. Melihat pertanda ini, sesepuh desa pun segera memanggil kembali para muda-mudi untuk berkumpul dan menyelenggarakan omed-omedan seperti biasa. Setelah kejadian itu, tradisi ini terus diadakan secara rutin sebagai upaya agar desa terhindar dari malapetaka.
Dalam tradisi ini, para muda-mudi setempat dikelompokkan menjadi dua grup, yaitu grup pria (teruna) dan grup wanita (teruni). Sebelum ritual dimulai, seluruh peserta mengikuti upacara persembahyangan bersama di Pura Banjar. Melalui persembahyangan bersama ini, para peserta memohon kebersihan hati dan kelancaran dalam pelaksanaan ritual omed-omedan. Setelah ritual sembahyang, ditampilkan pertunjukan tari barong bangkung (barong babi) yang dimaksudkan untuk mengingat kembali peristiwa beradunya sepasang babi hutan di desa ini.
Kedua kelompok ini berbaris berhadap-hadapan dengan dipandu oleh para polisi adat (pecalang). Kemudian, secara bergantian dipilih seorang dari masing-masing kelompok untuk diangkat dan diarak pada posisi paling depan barisan. Kedua kelompok ini kemudian saling beradu dan kedua muda-mudi yang diposisikan paling depan harus saling berpelukan satu sama lain. Saat keduanya saling berpelukan, masing-masing kelompok akan menarik kedua rekannya tersebut hingga terlepas satu sama lain. Jika kedua muda-mudi ini tidak juga dapat dilepaskan, panitia akan menyiram mereka dengan air hingga basah kuyup.
Ketika pasangan muda-mudi saling bertemu dan berpelukan erat, ada kalanya mereka akan saling beradu pipi, kening, dan bahkan bibir. Masyarakat awam dari luar banyak yang menyalahartikan hal ini sebagai saling berciuman. Ritual omed-omedan pun secara salah kaprah mendapat sebutan ritual ciuman massal dari Desa Sesetan.
Ngurah Bima mengungkapkan hal ini kurang tepat, karena pasangan muda-mudi ini saling bertemu dalam tempo yang singkat dan kondisi yang ricuh. Meskipun peluang itu ada dan peserta menghendaki hal tersebut, tetapi kondisi yang keos tidak akan memungkinkan para pesertanya untuk menikmati momen tersebut.
Di masa lalu, masyarakat Sesetan hanya memandang tradisi omed-omedan sebagai bagian dari wujud masima krama atau dharma shanti (menjalin silaturahmi) antar sesama warga. Seiring perjalanan waktu, tradisi ini ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Menyadari hal ini, masyarakat setempat kemudian mengemas tradisi omed-omedan sebagai sebuah festival warisan budaya tahunan dengan tajuk Omed-omedan Cultural Heritage Festival yang juga dimeriahkan dengan bazzar dan panggung pertunjukan. Dari tahun ke tahun, pengunjung festival ini terus meningkat, terlebih lagi dari kalangan penggemar fotografi yang saling berkompetisi untuk mengabadikan momentum langka tersebut sebagai objek eksplorasi mereka

Demikianlah yang dapat saya sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam blog kali ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang saya peroleh hubungannya dengan blog ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan teman-teman.
Read More
      edit
Published April 20, 2019 by with 3 comments

Tari Kecak Bali yang Penuh Pesan Moral !!!!

Sejarah dan Asal Usul Tari Kecak Bali yang Penuh Pesan Moral


TARIAN YANG SAKRAL

Tari Kecak biasa disebut Tari Cak atau tari api. Tarian ini merupakan tarian pertunjukkan hiburan masal yang menggambarkan seni peran dan tidak diiringi oleh alat musik atau gamelan. Namun, hanya diiringi oleh paduan suara sekelompok penari laki-laki berjumlah sekitar 70 orang yang berbaris melingkar memakai kain penutup kotak-kotak berbentuk papan catur. Tarian ini sangat sakral, terlihat dari penarinya yang terbakar api, namun mengalami kekebalan dan tidak terbakar.
Tari Kecak juga sering disebut Tari Sanghyang yang dipertunjukkan sewaktu-waktu untuk upacara keagamaan. Penari biasanya kemasukan roh dan bisa berkomunikasi dengan para dewa atau para leluhur yang telah disucikan. Penari tersebut dijadikan sebagai media untuk menyatakan sabda-Nya. Saat kerasukan, mereka juga akan melakukan tindakan yang di luar dugaan, seperti melakukan gerakan berbahaya atau mengeluarkan suara yang mereka tidak pernah keluarkan sebelumnya.

ASAL MULA NAMA KECAK

Wayan Limbak merupakan sosok yang menciptakan Tari Kecak. Pada tahun 1930, Limbak sudah mempopulerkan tarian ini ke mancanegara dan dibantu oleh Walter Spies, pelukis asal Jerman. Para penari laki-laki yang menari kecak akan meneriakkan kata ‘cak cak cak’. Dari situlah nama Kecak tercipta. Selain teriakan tersebut, alunan musik Tari Kecak juga berasal dari suara kincringan yang diikatkan pada kaki penari pemeran tokoh-tokoh Ramayana.
Di dalam lingkaran, para penari lainnnya beraksi. Mereka memainkan tarian yang diambil dari episode cerita Ramayana yang berusaha menyelamatkan Shinta dari tangan jahat Rahwana. Tak jarang, Tari Kecak juga melibatkan pengunjung yang tengah menonton aksi tarian tersebut.

MEMILIKI BANYAK FUNGSI DAN PESAN MORAL

1. MENGANDUNG NILAI SENI TINGGI

Meskipun nggak diiringi musik atau gamelan, tapi Tari Kecak tetap terlihat indah dan kompak. Gerakan yang dibuat para penarinya bisa tetap seirama! Itulah yang membuatnya bernilai seni tinggi dan dicintai oleh para turis. Meskipun turis yang menonton Tari Kecak bukan beragama Hindu, namun mereka tetap senang menonton Tari Kecak. Rasanya seperti ada yang kurang kalau ke Bali nggak nonton Tari Kecak!

2. BELAJAR MENGANDALKAN KEKUATAN TUHAN

Di Tari Kecak, ada adegan di mana Rama meminta pertolongan pada Dewata. Hal itu membuktikan bahwa Rama memercayai kekuatan Tuhan untuk menolomg dirinya. Tari Kecak juga dipercaya sebagai salah satu ritual untuk memanggil dewi yang bisa mengusir penyakit dan melindungi warga dan kekuatan jahat. Dewi yang biasanya dipanggil dalam ritual tersebut adalah Dewi Suprabha atau Tilotama.

3. BANYAK PESAN MORAL

Tari Kecak memiliki cerita mendalam dan menyampaikan pesan moral untuk penontonnya. Seperti, kesetiaan Shinta pada suaminya Rama. Juga Burung Garuda yang rela mengorbankan sayapnya demi menyelamatkan Shinta dari cengkeraman Rahwana. Dari cerita itu, kita juga diajarkan agar tidak memiliki sifat buruk seperti Rahwana yang serakah dan suka mengambil milik orang lain secara paksa.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam blog kali ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang saya peroleh hubungannya dengan blog ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan teman-teman.
Read More
      edit

Minggu, 14 April 2019

Published April 14, 2019 by with 1 comment



Arti Dan Asal Usul Tradisi Upacara Ngaben Di Bali

Arti Dan Asal Usul Tradisi Upacara Ngaben Di Bali

Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali, Indonesia. Upacara adat Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk mengirim jenazah pada kehidupan mendatang. Dalam upacara ini, jenazah diletakkan dengan posisi seperti orang tidur. Keluarga yang ditinggalkan pun akan beranggapan bahwa orang yang meninggal tersebut sedang tertidur. Dalam upacara ini, tidak ada air mata karena mereka menganggap bahwa jenazah hanya tidak ada untuk sementara waktu dan menjalani reinkarnasi atau akan menemukan peristirahatan terakhir di Moksha yaitu suatu keadaan dimana jiwa telah bebas dari reinkarnasi dan roda kematian. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal.
Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal, yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk memisahkan roh dengan jasad kasarnya.
Tujuan upacara ngaben
Secara garis besarnya Ngaben adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta di alam besar ini dan mendampingi Atma (Roh) ke alam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan dunianya, Ia bakal bisa kembali pada alamnya, yakni alam Pitra. Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah supaya ragha sarira (badan / Tubuh) cepat bisa kembali terhadap asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma bisa selamat bisa berangkat ke alam pitra.
Ada suatu buku yang berjudul ”108 Mutiara Veda” Terbitan tahun 2001, cocoknya di halaman 107, ada tersurat yang dikutip dari: Yajurveda: 40-15. Dalam bukit itu disebutkan bahwa;
  • Wahai manusia, badanmu yang dibangun oleh panca mahabhuta akhirnya menjadi abu dan atmanya bakal mendapat moksa.
  • Oleh sebab itu, ingatlah nama Tuhan, yaitu AUM, ingatlah nama Tuhan AUM, dan ingatlah lakukananmu.
Jadi dalam kitab suci veda samhita, dalam faktor ini kitab yajurveda ada tersurat bahwa setiap orang (Hindu) yang meninggal mayatnya wajib dibangun menjadi abu supaya atmanya mencapai moksa. Tapi apakah dengan upacara ngaben langsung bisa mencapai surga alias moksa? Apabila menurut kami semacamnya itu belum tentu. Bisa dilihat pada Kutipan dari Yajurveda diatas pada kalimat terbaru. “Ingatlah lakukananmu” pastinya ketika kami telah meninggal kami bakal mempertanggung jawabkan lakukanan kami semasa nasib. Apakah layak alias tidaknya untuk mencapai surga ataupun moksa.
Pelaksanaan ritual upacara ngaben
Ngaben adalah upacara yang besar dan pastinya itu memerlukan anggaran yang ketidak sedikitan. Bagaimanakah bagi mereka yang tak lebih mampu? Agama Hindu fleksibel dan pastinya ada kebijakan-kebijakan tentang kondisi demikian. Biasanya diadakannya ngaben massal yang pasti dari sisi anggaran bakal lebih mengurangi. Dan dari beberapa penelusuran terhadap beberapa lontar di Bali, ngaben nyatanya tak rutin besar. Ada beberapa tipe ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-ngaben tipe ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Tetapi demikian, tersedia juga beberapa tipe upacara yang termasuk besar, semacam sawa prateka dan sawa wedhana.  
Berikut Tipe – tipe Ngaben Sederhana :

  • Mendhem Sawa

    Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali tetap diberbagi peluang untuk ditunda sementara, dengan argumen beberapa faktor semacam yang telah diuraikan. Tetapi diluar itu tetap ada argumen yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja argumen ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan alias latar belakang filosofis adanya kenasiban ini. Alasannya adalah supaya ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara bisa merunduk pada prthiwi dulu. Yang dengan cara ethis dilukiskan supaya mereka bisa mencium ibu prthiwi. Tetapi butuh diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati wajib segera di aben. Bagi mereka yang tetap memerlukan waktu menantikan sementara maka sawa (jenasah) itu wajib di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
    • Ngaben Mitra Yajna


    Ngaben Mitra Yajna Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyatakan tipe ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, sebab tak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ujar lontar Yama Purwana Tattwa adalah Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tak disebutkan nama tipe ngaben ini. Untuk membedakan dengan tipe ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, khususnya tentang upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tak memilih dewasa (hari baik).
    • Pranawa Pranawa


    Pranawa Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama tipe ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pembakaran mayat diadakan upacara Ngeplugin alias Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pembakaran mayat jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlsaya ketentuan semacam amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti hingga ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, semacam yang telah diuraikan. 
    • Pranawa Bhuanakosa


    Pranawa Bhuanakosa adalah aliran Dewa Brahma terhadap Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal mesikipun sempat ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.
    Swasta
    Swasta artinya lenyap alias hilang. Adalah nama tipe ngaben yang sawanya (mayatnya) tak ada (tan kneng hinulatan), tak bisa dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya bisa dilsayakan dengan ngaben tipe swasta. Mesikipun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong.
    Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga nasib. Tiga hari sebelum pembakaran mayat diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, bisa dilsayakan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tak bisa diketahui bekasnya pengulapan bisa dilsayakan di Jaba Pura Dalem.
    Secara umum rangkaian pelaksanaan ritual upacara budaya ngaben ini sebagai berikut :


    • Ngulapin, Ngulapin bermakna sebagai upacara untuk terbuktigil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (umpama di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dilaksanakan tak sama sesuai dengan tata tutorial dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.

    • Nyiramin atau Ngemandusin, Adalah upacara memandikan dan membersihkan jenazah, upacara ini biasa dilsayakan dihalaman rumah keluarga yangbersangkutan (natah). Pada prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol semacam bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali manfaat-manfaat dari tahap tubuh yang tak dipakai ke asalnya, dan apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali supaya dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).Ngajum Kajang, Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta alias tetua budaya setempat. Seusai berakhir ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan bakal melaksanakan upacara ngajum kajang dengan tutorial menekan kajang itu setidak sedikit 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat jadi mendiang bisa dengan cepat melsayakan perjalanannya ke alam selanjutnya.


    • Ngaskara, Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilsayakan dengan tujuan supaya roh yang bersangkutan bisa bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pengajar kerabatnya yang tetap nasib di dunia.

    • Mameras, Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, berhasil, alias berakhir. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang telah mempunyai cucu, sebab menurut keyakinan cucu tersebutlah yang bakal menuntun jalannya mendiang melewati doa dan karma baik yang mereka lsayakan.


    • Papegatan, Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua faktor tersebut bakal menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah dengan cara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada suatu lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk semacam gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini bakal diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.

    •        Pakiriman Ngutang, Seusai upacara papegatan maka bakal dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tak utama wajib ada, bisa diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anak buah masyarakat bakal mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, alias suara angklung yang terlihat kecewa. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini bakal diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Tidak hanya itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga.
    • Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat.
    • Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.


    • Ngeseng, Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan, disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, seusai berakhir kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.

    • Nganyud, Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang tetap tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, alias sungai.


    • Makelud, Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari seusai upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga dampak kekecewaan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kekecewaan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan.


    Read More
          edit

    Senin, 18 Maret 2019

    Published Maret 18, 2019 by with 1 comment

    tradisi unik di desa Tegallalang



    Tradisi Unik Ngerebeg, Dandanan Warna Warni di Tegallalang



    Hasil gambar untuk tradisi ngerebeg di tegallalang



    Gianyar,mediapelangi.com- Ratusan anak dicat ditubuhnya dengan berwarna warni,seperti layaknya dilukis yang sangat menyeramkan.Ritual ngerebeg ini serangkaian piodalan di Pura Duur Bingin,Desa Pakraman Tegallalang,Kecamatan Tegallalang,Kabupaten Gianyar.
    Ritual ngerebeg yang sangat unik ini,dengan ratusan anak-anak dari 7 Banjar,dengan menggunakan atribut warna warni,dan menyeramkan ritual yang dipusatkan di Pura Duur Bingin,seluruh peserta juga mengelilingi perkampungan.
     merupakan ritual menghalau segala  negatif yang diperankan dengan dandanan yang menggunakan berbagai hiasan,corak,warna ksusus Dengan dandanan menyeramkan itu, mereka jalan kaki keliling desa, sambil membawa berbagai hiasan dan pelepah busung (janur) dan pelepah daun jaka (aren), juga lelontek, kober (bendera sakral), dan penjor,oleh masing-masing peserta.
    Ritual Ngerebeg ini merupakan tradisi yang diwarisi secara turun temurun dan selalu dilaksanakan sehari menjelang puncak karya piodalan di Pura Duur Bingin, Desa Pakraman Tegalalang yang jatuh enam bulan sekali (210),” kata Bendesa Adat I Made Jaya Kusuma, Bendesa Pekraman Tegallalang, Rabu(06/12/2017).
    Dikatakan digelarnya bertepatan dengan Buda Kliwon Pahang,secara khusus saat ini peserta juga menggunakan warna kelabu bercampur keemasan ,sebagai wujud bencana Gunung Agung segera berakhir.
    Di Bali bencana identik dengan sesuatu yang baik,bukan buruk karena percaya dengan kekuatan alam dan manusia sebagai pendukung,”jelasnya.
    Berharap saat erupsi Gunung Agung dengan ritual ini tidak ada bencana umunya di Bali,dan wisatawan bisa kembali berkunjung dengan keindahan alam yang di miliki,”harapnya.
    Secara khusus saat bencana Gunung Agung ini,juga digelar ritual mecaru menggunakan sapi sebagai salah persembahan saat digelar ritual ini.
    Saat digelarnya prosesi ritual Ngerebeg, seluruh krama dan 7 banjar adat di Desa Pakraman Tegallalang,ikut terlibat,yakni Banjar Gagah, Banjar Pejeng Aji, Banjar Tegallalang, Banjar Tegal, Banjar Tengah, Banjar Penusuan, dan Banjar Tri Wangsa. Krama dewasa terlibat menghaturkan sesaji, sementara karma alit (lanang) melakukan arak-arakan dengan hiasan tubuh menyeramkan.
    Seluruh peserta berjalan mengelilingi perkampungan dengan lantunan doa-doa disepanjang jalan,diawali dengan berkumpul di pelataran pura disajikan makanan khusus.
    Ritual Ngerebeg ini merupakan tradisi yang diwarisi secara turun temurun dan selalu dilaksanakan sehari menjelang puncak karya piodalan di Pura Duur Bingin, Desa Pakraman Tegallalang.
    Read More
          edit

    Senin, 28 Januari 2019

    Published Januari 28, 2019 by with 24 comments

    Makna tradisi pawai ogoh ogoh di Bali


    Makna Tradisi Pawai Ogoh-Ogoh di Perayaan Malam Nyepi 2018


    Sejumlah pemuda mengarak Ogoh-Ogoh menjelang Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1940 di Desa Tegalalang, Gianyar, Bali, Kamis (15/3/18). ANTARA FOTO/Wira Suryantala.

    Sejumlah pemuda mengarak Ogoh-Ogoh
    menjelang Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1940
    di Desa Tegalalang, Gianyar, Bali, Kamis (15/3/18).

     












    Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940 akan diperingati masyarakat beragama Hindu pada Sabtu esok, 17 Maret 2018. Menyambut hari suci ini, ratusan ogoh-ogoh biasanya akan diarak dalam parade untuk memeriahkan malam pangerupukan Nyepi, tak terkecuali di Kota Denpasar, Bali pada hari ini, Jumat (16/3/2018).

    Ogoh-ogoh tersebut tampak dalam berbagai bentuk dan ukuran menyerupai buta kala, atau makhluk mitologis Bali. Mereka berjejer di sepanjang jalan di Kota Denpasar dan sekitarnya setelah dikeluarkan dari balai banjar, tempat pembuatan ogoh-ogoh, pada Jumat paginya. 

    Karya seni ini biasanya dibuat oleh para pemuda banjar selama sebulan lebih sebelum perayaan Nyepi. Raksasa ini dibuat secara rumit dari kertas berwarna, potongan kaca, suede, perada, bambu, dan bahan lainnya. Dibuat dengan teliti, ogoh-ogoh lebih dari sekedar patung, mereka tampak hidup. 


    Ogoh-ogoh ini mewakili roh jahat dan ditujuan untuk menyucikan lingkungan alami dari setiap polutan spiritual yang dipancarkan dari aktivitas makhluk hidup, termasuk manusia, demikian dilansir Digital Journal


    Nama ogoh-ogoh berasal dari Bali "ogah-ogah" yang berarti "mengguncang" dan mewakili kejahatan yang perlu dijauhkan dari manusia, seperti dikutip Now Bali. Masyarakat banjar yang ikut konvoi akan mengguncang-guncangkan ogoh-ogoh agar terlihat seperti bergerak dan menari.

    Setelah diarak di sekitar kota dan desa, ogoh-ogoh itu nantinya dibakar sebagai simbol pemurnian diri. Dengan membakar ogoh-ogoh, umat Hindu artinya telah siap memperingati Nyepi dalam keadaan suci. 

    Di hari kesunyian itu, umat diharapkan untuk diam dan melakukan refleksi diri. Orang-orang tinggal di rumah dan tidak diizinkan untuk menggunakan lampu, menyalakan api, bekerja, bepergian atau menikmati hiburan. Bahkan para turis diminta untuk tidak meninggalkan hotel mereka. 

    Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Denpasar Komang Sugiarta mencatat sedikitnya 688 ogoh-ogoh yang tersebar di empat kecamatan dan akan diarak saat pangerupukan nanti malam


    "Jumlah tersebut baru yang terdaftar saja. Kalau melihat antusiasme warga termasuk ogoh-ogoh yang dibuat anak-anak maupun komunitas tentu melebihi jumlah itu,” ujarnya sebagaimana dilansir Antara.



    Sementara itu, sejumlah petugas kebersihan telah dikerahkan untuk mengatasi sampah setelah arak-arakan ogoh-ogoh selesai. “Sehingga saat merayakan Nyepi, wilayah Kota Denpasar tetap terjaga kebersihannya," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Denpasar, Ketut Wisada.


    dikutip dari :



    Read More
          edit